Ditulis oleh Alya Sasqia Nasution (10415010)
Disunting oleh : Ivan dan Almira A.
Luar angkasa merupakan lingkungan ekstrem bagi makhluk hidup, termasuk mikroba, karena memiliki kondisi lingkungan yang tidak mendukung bahkan cenderung merusak komponen-komponen makhluk hidup; paparan sinar UV tinggi, hampa udara, perubahan suhu yang ekstrem dari dingin ke panas maupun sebaliknya, gravitasi nol, serta intensitas radiasi yang sangat besar. Radiasi ekstrem sinar UV seperti di luar angkasa dapat merusak komponen sel, seperti memutuskan rantai DNA sehingga menyebabkan kematian sel mikroba karena sel tidak dapat melakukan aktivitas sel. Keadaan hampa udara (vakum) di luar angkasa dapat menyebabkan terganggunya integritas sel. Dengan berbagai kondisi ekstrem tersebut, sel yang berada di luar angkasa dapat mengalami kekeringan sehingga komponen-komponen di dalamnya terganggu, seperti terjadinya perubahan konformasi pada lipid, karbohidrat, dan protein, serta dapat menyebabkan terjadinya polimerisasi pada biomolekul di dalam sel yang akan mengubah fungsi komponen dalam sel.
Namun, apakah ada mikroba yang mampu hidup di luar angkasa dengan kondisi lingkungan ekstrem tersebut? Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ternyata ada mikroba yang mampu hidup di luar angkasa.
Salah satu mikroba yang pernah ditemukan mampu bertahan hidup di luar angkasa adalah Streptococcus mitis—bakteri ini sintas di dalam kamera yang ditaruh di Bulan selama dua-setengah tahun lamanya. Pernah pula dilakukan sekuensing sampel debu yang berasal dari International Space Station (ISS) dan ditemukan adanya sekuens bakteri dari kelompok Corynebacterium, Staphylococcus, Coprococcus, bakteri ekstremotoleran lain, dan archaea. Penelitian lain yang dilakukan di luar angkasa menunjukkan data bahwa liken Rhizocarpon geographicum dan Xanthoria elegans mampu bertahan hidup di luar angkasa selama dua minggu.
Di Bumi pun telah dilakukan beberapa eksperimen dengan memanipulasi lingkungan hidup mikroba di dalam laboratorium sehingga memiliki kondisi yang serupa luar angkasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui beberapa jenis mikroba yang mampu bertahan hidup di kondisi lingkungan yang diberikan, di antaranya adalah bakteri termofilik, berendospora, dan/atau halofilik seperti Deinococcus radiodurans, Bacillus subtilis, dan Halorubrum chaoviatoris. Dengan ditemukannya sejumlah mikroba yang sintas di lingkungan ekstrem serupa luar angkasa tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara mikroba-mikroba tersebut dapat bertahan hidup di kondisi demikian?
Terdapat beberapa mekanisme adaptasi yang dilakukan oleh mikroba agar dapat bertahan hidup di lingkungan ekstrem seperti pada luar angkasa. Mekanisme ini bervariasi pada tiap spesies mikroba. Di antara mekanisme adaptasi tersebut adalah membuat lapisan tebal untuk melingkupi sel. Lapisan pelindung tersebut dapat berupa kristal garam, asam organik, dan beberapa jenis gula, seperti sukrosa. Lapisan pelindung tersebut dapat melindungi sel dari kekeringan akibat lingkungan yang hampa udara dan radiasi sinar UV yang sangat tinggi di luar angkasa, sehingga sel terhindar dari kematian. Mekanisme adaptasi lain yang teramati adalah melindungi DNA sel dengan cara berikatan kuat dengan protein berukuran kecil yang dapat mengubah reaktivitas enzimatik dan kimia dari DNA. Ada pula mekanisme adaptasi yang masih terkait dengan DNA, namun dengan cara lain yaitu dengan mengefektifkan mekanisme DNA repair untuk memperbaiki DNA yang rusak akibat kondisi lingkungan ekstrem di luar angkasa. Beberapa bakteri seperti Bacillus subtilis memiliki cara bertahan hidup yang lebih efektif, yakni dengan cara membentuk spora. Spora merupakan bentuk sel dorman dari bakteri dan memiliki lapisan pelindung yang tebal. Spora biasanya terbentuk jika kondisi lingkungan kurang menguntungkan untuk melakukan pertumbuhan.
Dampak dari pertumbuhan sel di luar angkasa yang mungkin juga merupakan mekanisme lain untuk bertahan hidup adalah mengecilnya ukuran sel, seperti pada sel Escherichia coli yang ditumbuhkan di luar angkasa, yang mengalami pengurangan ukuran sel sebesar 37%. Pengurangan ukuran sel tersebut diduga terjadi akibat adanya perbedaan interaksi molekul sel yang berbeda jika berada di luar angkasa. Dampak dari pengurangan ukuran sel tersebut adalah berkurangnya probabilitas terjadinya difusi molekul ke dalam dan luar sel. Dari penilitian tersebut juga teramati bahwa terjadi penebalan amplop sel pada E. coli serta terbentuk outer membrane vesicle (OMV) yang diduga berfungsi untuk melindungi sel dari stres lingkungan yang sudah disebutkan sebelumnya. Teramati pula pembentukan agregat yang diduga berasosiasi dengan pembentukan biofilm pada kultur sel yang ditumbuhkan di luar angkasa. Akan tetapi, belum diketahui mengapa sel-sel mikroba tersebut membentuk agregat meskipun disebutkan bahwa pembentukan agregat tersebut merupakan dampak dari kondisi mikrogravitasi di luar angkasa.(AS)
Reference :
Mora, M.. Perras, A.. Alekhova, T. A.. dkk. 2016. Reselient Microorganisms in Dust Samples of the International Space Station-Survival of the Adaptation Specialists. Microbiome, 4(65): 1-21
Nicholson, W. L.. Munakata, Nobuo. Horneck, Gerda. dkk. 2000. Resistent of Bacillus subtilis Endospores to Extreme Terrestrial and Extraterrestrial Environments. Microbiol. Mol. Biol. Rev., 64(3): 548-572.
Saffary, Roya. Nandakumar, Renu. Spencer, Dennis. dkk. 2002. Microbial Survival of Space Vacuum and Extreme Ultraviolet Irradiation: Strain Isolation and Analysis during a Rocker Flight. FEMS Microbiology Letters, 215(1): 163-168
Horneck, Gerda, Klaus, D. M. dan Mancinelli, R. L.. 2010. Sapce Microbiology. Microbiology and Molecular Biology Reviews, 72(1): 121-156.
Zea, Luis. Larsen, Michael. Estante, Frederico. dkk. 2017. Phenotypic Changes Exhibited by E. coli Cultured in Space. Frontiers in Microbiology, 8:1598. doi: 10.3389/fmicb.2017.01598.