Bukan Udang di Balik Batu, tapi Udang yang Terkena Batunya!

Author: Melati Adriana Christy

Coba bayangin, kamu lagi asyik scroll TikTok atau Reels, tiba-tiba FYP-mu isinya berita aneh: ‘Gawat! Udang Ekspor Indonesia Ditolak AS Gara-gara Radiasi Nuklir’.

“Wait, what? Kok bisa?”, kamu pasti mikir gitu, kan?

Tenang, kamu nggak salah baca. Berita itu bukan hoax dan memang benar-benar terjadi. Biang keladinya adalah zat radioaktif bernama Cesium-137 yang mencemari beberapa produk udang kita. Eits, tapi tahan dulu imajinasimu soal udang glow-in-the-dark atau monster laut kayak di film-film. Kenyataannya jauh lebih kompleks dan…  jujur saja, lebih relevan dengan kehidupan kita. Sebab, ini bukan cerita tentang udang mutan. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah ‘error’ industri bisa merembet ke mana-mana, tentang kerusakan lingkungan yang tak kasat mata, dan yang paling nggak disangka: Bagaimana pasukan super kecil dari dunia mikrobiologi justru bisa jadi pahlawan untuk membereskan kekacauan ini.

The Plot Twist: Kok Bisa Udang Kena Radiasi?

Kalau kamu langsung membayangkan udangnya berenang santai di perairan yang tercemar limbah nuklir ala film Godzilla, kamu salah besar. Plot twist-nya adalah: laut dan tambak kita bersih dari masalah ini. Para nelayan dan petambak udang sama sekali nggak bersalah.

Jadi, siapa biang keroknya?

Bukan Salah Lautnya, tapi Pabrik di Darat

Untuk gampangnya, bayangin kasus ini kayak insiden paket online.

Anggap saja Cesium-137 itu adalah paket berisi cairan berbahaya yang salah label. Paket ini seharusnya tidak pernah ada di sana, tapi entah bagaimana malah ikut terkirim ke sebuah gudang besar, yaitu pabrik peleburan besi tua (scrap metal) di Cikande, Banten.

Di dalam pabrik itu, semua besi impor dilebur dalam suhu ribuan derajat Celsius. Sialnya, si ‘paket berbahaya’ ini ikut masuk ke tungku peleburan. Alih-alih hancur, Cesium-137 justru menguap dan menyebar, menempel di mana-mana, numpang di debu pabrik, asap, dan limbah padatnya. Gudang itu sekarang sudah terkontaminasi. Nah, udang kita adalah paket lain yang sempurna, yang diproses dan dikemas dengan baik di lokasi yang berdekatan. Masalahnya, ‘paket udang’ ini diangkut menggunakan truk atau ditempatkan dalam kontainer yang sebelumnya mungkin terkena ‘cipratan’ dari si paket berbahaya tadi.

Hasilnya? Udang yang tadinya aman-aman saja jadi ikut terkontaminasi. Dia cuma korban yang berada di waktu dan tempat yang salah.

Setelah diusut tuntas, semua mata tertuju pada satu titik: sebuah pabrik peleburan scrap metal di Banten. Mereka ini ibaratnya ‘pemulung’ kelas kakap, mengimpor berton-ton besi tua dari berbagai negara untuk didaur ulang. Tapi sialnya, di salah satu pengiriman, mereka dapat ‘bonus’ tak diundang yang super bahaya. 

Di antara tumpukan besi karatan itu, ternyata nyelip sebuah sumber radioaktif Cesium-137, kemungkinan besar dari limbah alat medis atau industri tua yang dibuang seenaknya. Nah, saat semua besi itu dilebur di tungku super panas, si Cesium-137 ini bukannya hancur, malah berubah jadi semacam ‘hantu’ radioaktif tak kasat mata, yang menguap, lalu menyebar ke seluruh lingkungan pabrik. Lalu, di sinilah malapetaka sebenarnya dimulai. Debu-debu invisible yang membawa radiasi ini beterbangan keluar, nongkrong di tanah, dan nempel di kontainer-kontainer logistik yang parkir di sekitar. Ujung-ujungnya? Udang kita yang bersih, segar, dan literally cuma numpang lewat untuk diproses di dekat area itu, jadi korban paling apes. Tanpa sadar, mereka ikut kena getahnya.

The Fallout: Kenapa Ini Jadi Masalah Serius Banget?

Oke, jadi udangnya cuma korban. Clear. Tapi, kenapa insiden ini jadi headline di mana-mana dan bikin pemerintah pusing tujuh keliling? Jawabannya karena efek dominonya ngeri. Ini bukan cuma soal udang yang gagal terbang ke Amerika. Ini soal reputasi negara dan alarm bahaya yang berbunyi nyaring di halaman belakang rumah kita sendiri.

Red Flag di Peta Dunia

Pertama, kita bahas soal penolakan dari FDA (Badan POM-nya Amerika). Mereka itu super ketat. Bayangin aja mereka kayak bouncer di klub paling elit sedunia. Ada yang aneh dikit? Langsung ditendang keluar, nggak pake nego!

FDA menolak udang kita bukan karena kalau dimakan kita bakal langsung glowing in the dark. Tingkat radiasinya sebenarnya rendah. Tapi bagi mereka, prinsipnya adalah nol toleransi terhadap kontaminasi yang nggak seharusnya ada. Logikanya gini, paparan radiasi sekecil apa pun, kalau terjadi terus-menerus dalam jangka panjang ke jutaan orang, secara statistik bisa meningkatkan risiko penyakit berbahaya kayak kanker. Mereka nggak mau ambil risiko itu buat warganya.

Dampaknya? Ini kayak tamparan keras buat citra produk Indonesia. Sekali kena stempel ‘tercemar radiasi’, kepercayaan pasar internasional bisa langsung anjlok. Negara lain jadi was-was, dan buat mengembalikan kepercayaan itu lagi butuh waktu dan usaha yang luar biasa. Ibaratnya, karena satu nila setitik, rusak susu satu kontainer.

Alarm Merah di Halaman Belakang Kita

Ingat ‘hantu’ radioaktif Cesium-137 dari pabrik tadi? Dia nggak magically menghilang. Dia masih ada di sana, meresap ke tanah, mungkin juga ke sumber air tanah. Ini adalah polusi yang paling nyeremin, karena dia tak kasat mata. Nggak ada baunya, nggak ada warnanya, nggak ada rasanya.

Ini ibarat ada sinyal Wi-Fi super jahat yang terus-terusan memancarkan radiasi berbahaya 24/7. Orang-orang yang tinggal di sekitarnya, ekosistem, hewan, dan tumbuhan, semuanya terpapar tanpa mereka sadari. Ini bukan lagi soal ekonomi, tapi sudah masuk ke ranah krisis kesehatan dan lingkungan yang serius.

Udang yang ditolak itu sebenarnya hanyalah seorang pembawa pesan. Dia datang dari Cikande ke Amerika untuk ngasih tahu kita: “Guys, there’s a huge problem back home!

Dan di sinilah cerita kita beralih dari masalah industri ke sebuah medan pertempuran tak kasat mata, di mana para pahlawan yang akan kita bahas selanjutnya ukurannya bahkan lebih kecil dari sebutir debu.

Mikrobiologi to the Rescue: Pasukan Mungil Pembersih Radiasi

Di tengah semua kepanikan soal reputasi negara dan bahaya lingkungan, ada sekelompok ilmuwan yang justru melihat secercah harapan. Mereka adalah para ahli mikrobiologi. Bagi mereka, medan pertempuran tak kasat mata di Cikande ini adalah sebuah panggilan tugas.

Saat Ekosistem Kacau, Superhero Mungil Muncul

Bayangin tanah di sekitar Cikande itu kayak kota metropolitan super canggih yang ukurannya mikroskopis. Penghuninya? Miliaran bakteri, jamur, dan mikroba lain. Mereka ini bukan cuma numpang hidup, mereka adalah ‘pekerja esensial’-nya alam. Ada yang jadi tim daur ulang (mengurai sampah organik jadi pupuk), ada yang jadi koki (menyediakan nutrisi buat tanaman), dan ada juga yang jadi satpam (melawan bibit penyakit).

Nah, radiasi Cesium-137 itu ibarat serangan alien mendadak yang mengebom kota ini tanpa ampun. Banyak ‘pekerja’ yang langsung tewas. Keseimbangan kota jadi hancur lebur, koneksi antar warganya putus. Kondisi kacau balau inilah yang disebut para ilmuwan sebagai disbiosis ekologis.

Tapi, di tengah kekacauan itu, selalu ada survivor. Selalu ada sekelompok mikroba tangguh yang karena satu dan lain hal, berhasil bertahan hidup dari serangan. Merekalah calon pahlawan kita.

Meet the Heroes: Bioremediasi 101

Di sinilah para ilmuwan mikrobiologi datang dengan ide yang brilliant sekaligus eco-friendly: Bioremediasi. Secara harfiah, artinya ‘memperbaiki lingkungan pake makhluk hidup’. Para mikroba survivor dari lokasi Cikande, ditumbuhkan di laboratorium, lalu kirim mereka kembali ke lingkungan untuk membantu memulihkannya dari polusi radiasi.

Dan ini bukan cuma teori keren-kerenan. Mereka punya dua ‘jurus’ andalan yang sudah terbukti secara ilmiah untuk melakukan ini:

Jurus Magnet Pelindung (Biosorpsi) Beberapa jenis bakteri dan jamur punya dinding sel yang secara alami bermuatan negatif. Sementara itu, partikel Cesium-137 itu positif. Kamu tahu apa yang terjadi kalau kutub negatif ketemu positif, kan? Yup, nempel kayak perangko! Dinding sel mereka berfungsi seperti magnet super kuat yang nangkep dan ngunci partikel radiasi. Faktanya, penelitian oleh F. P. de Carvalho dalam bukunya Microbial Bioremediation menyoroti bagaimana jamur, dengan jaringan miseliumnya yang luas, adalah ‘juara’ dalam hal biosorpsi Cesium berkat komponen di dinding sel mereka. Jurus ini sangat efektif untuk mencegah si ‘hantu’ radiasi gentayangan bebas di air atau tanah.

Jurus Sedot Tuntas (Bioakumulasi) Mikroba lain punya jurus yang lebih nekat. Mereka nggak cuma nangkep partikel radiasi di luar, tapi langsung ‘menyedotnya’ masuk ke dalam sel. Ini juga bukan isapan jempol; sebuah ulasan besar-besaran di jurnal Frontiers in Microbiology pada tahun 2022 mengonfirmasi bahwa berbagai genus bakteri, mulai dari Bacillus hingga Pseudomonas, terbukti memiliki kemampuan super ini untuk mengakumulasi Cesium dari lingkungan. Mereka secara aktif mengorbankan diri, menumpuk racun radioaktif itu di dalam tubuhnya sampai penuh, sehingga polutan berbahaya itu terisolasi dengan aman di dalam biomassa mikroba.

Sebagai fun fact, di dunia ini ada bakteri bernama Deinococcus radiodurans, yang saking kuatnya sampai dijuluki ‘Conan the Barbarian’ oleh Guinness World Records. Dia bisa menahan dosis radiasi 1.000 kali lebih besar dari yang bisa membunuh manusia. Ini adalah bukti nyata bahwa alam memang sudah menyiapkan solusinya sendiri untuk masalah-masalah paling pelik sekalipun.

What’s The Takeaway? Pelajaran dari Sang Udang

Kasus ini adalah wake-up call yang keras banget. Ini bukti nyata betapa semua sistem di dunia ini saling terhubung. Satu ‘error’ di pabrik bisa bikin pusing para eksportir, dan satu polutan tak kasat mata bisa merusak ekosistem yang dibangun jutaan tahun.

Tapi di sisi lain, cerita ini juga ngasih kita harapan. Ini nunjukkin kalau sains, khususnya mikrobiologi, itu bukan cuma pelajaran hapalan yang bikin ngantuk di kelas. Ini adalah toolkit super canggih untuk menyelesaikan masalah-masalah paling rumit di planet ini. Alam, lewat pasukan mikroba-nya, sudah menyediakan ‘software’ pemulihan yang luar biasa. Tugas kita sebagai manusia adalah menggunakan ‘hardware’ (otak dan teknologi) yang kita punya untuk mendukung mereka, bukan malah menambah pekerjaan mereka.

Jadi, lain kali kamu mendengar isu lingkungan, jangan cuma menganggapnya angin lalu. Ingatlah bahwa di balik setiap masalah besar, ada dunia tak kasat mata yang ikut jadi korban, tapi di saat yang sama, juga menyimpan kunci dari solusinya.

Tugas kita adalah jadi generasi yang lebih aware, biar para ‘pahlawan mungil’ ini nggak perlu lembur terus-terusan buat membereskan kekacauan yang kita buat.

Semoga dengan informasi ini, kamu belajar lebih banyak, ya!

Referensi:

  • de Carvalho, F. P. (2020). Microbial Bioremediation & Biodegradation. In Springer eBooks. Springer Nature Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-15-1812-6
  • Kumar, R., Singh, S., & Singh, O. V. (2007). Bioremediation of radionuclides: emerging technologies. Omics : a journal of integrative biology, 11(3), 295–304. https://doi.org/10.1089/omi.2007.0013 
  • Putra, A. (2025). Krisis Cikande: Saat industri teledor, ekosistem jadi korban. Tempo Investigasi. Diakses pada 15 Oktober 2025, dari https://investigasi.tempo.co/krisis-cikande-industri-teledor
  • Santoso, B. (2025). FDA tolak udang Indonesia, pemerintah bentuk satgas penanganan Cesium-137. Reuters Indonesia. Diakses pada 10 Oktober 2025, dari https://www.reuters.com/id/berita/bisnis/fda-tolak-udang-indonesia-2025-10-12
  • United States Food and Drug Administration. (2025, 10 Oktober). Import Alert 99-52: Detention without physical examination of shrimp and spices from Java and Lampung, Indonesia due to radioactive contamination. FDA.gov. Diakses pada 12 Oktober 2025, dari https://www.accessdata.fda.gov/cms_ia/importalert_1252.html

Baca juga artikel lainnya: