Direkomendasikan oleh: Della Hidayati Rahman (Archaea’21), Beatrice Andreanna Wijaya (Archaea’21), Edeline Clarissa (Archaea’22), Rila Tirta Ayudya (Archaea’22), & Muhammad Affan Abdullah (Archaea’22)
Sekarang lagi heboh banget di internet kalo ada bakteri pemakan daging yang katanya bisa ngebuat kaki kita rusak dan harus diamputasi. Selain itu, bakteri ini juga katanya bisa ngebunuh orang yang terjangkit dalam waktu 48 jam!! Sebenernya ini apa sih? Apa bakal ada pandemi baru yang bikin kita jadi zombie??
Di Jepang saat ini sedang menyebar penyakit streptococcal toxic shock syndrome (STSS). Phoebe williams dkk. dalam Science Alert melaporkan bahwa lebih dari 1000 kasus STSS telah terjadi pada 6 bulan pertama tahun 2024. Jumlah ini sudah lebih banyak dibandingkan 1 tahun penuh pada 2023!!
Introduksi STSS pada manusia
Gejala awal penyakit ini sebenarnya hanya ‘sekadar’ ruam, demam, atau mual. Namun, apabila sudah parah penderitanya dapat menderita gejala seperti sepsis, kelelahan, ritme pernafasan yang cepat, otot yang sakit, dan sebagainya.
Siapa sih pelaku di balik STSS ini?
Sebenarnya penyakit ini bisa disebabkan oleh banyak spesies dalam genus Streptococcus, tetapi Streptococcus pyogenes menjadi spesies bakteri dominan dalam penyakit ini. S. pyogenes adalah bakteri gram positif yang termasuk dalam grup A streptococcal (GAS). Bakteri ini berbentuk bulat dan sering ditemukan berkelompok membentuk rantai. S. pyogenes biasanya mengkolonisasi faring, anus, dan mukosa genital. Strain GAS dapat masuk ke kulit melalui abrasi dan lesi kulit, menyebabkan erysipelas atau selulitis, serta infeksi otot dan fasia yang menyebabkan myositis dan necrotizing fasciitis setelah trauma ringan, yang dapat mengakibatkan SSTS. Patogen ini umumnya ditularkan dari satu manusia ke manusia lain dari berbagai rentang usia, muda ke tua. Terkadang, terdapat sedikit kasus penularan dari hewan ke manusia pada peternakan seperti ayam (Burnham dkk., 1980).
Gambar 1. Jalur transmisi Streptococcus pyogenes pada manusia (Bessen dkk., 2018)
Mekanisme STSS dan Necrotizing Fasciitis II
Penyakit STSS kadang terjadi bersamaan dengan kondisi yang disebut necrotizing fasciitis dimana jaringan di bawah kulit rusak akbiat infeksi. Kondisi inilah yang menjadi penyebab munculnya nama flesh-eating bacteria atau bakteri pemakan daging (Williams dkk., 2024). Terdapat sejumlah mekanisme bagaimana bakteri tersebut dapat menyebabkan gejala fatal tersebut.
Gambar 2. Faktor virulensi Streptococcis pyogenes (Shumba dkk., 2019)
- SpeB
S. pyogenes mampu menghasilkan Streptococcal pyrogenic exotoxin (Spe) berupa SpeB sebagai salah satu faktor virulensinya. SpeB mampu berinteraksi dengan sistem imun dengan berikatan tanpa pemrosesan seluler terlebih dahulu ke molekul kelas II kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) pada sel dengan antigen (APC) dan reseptor sel T
Gambar 3. Perbandingan Aktivasi Sel T pada keadaan normal dengan antigen terproeses (a) dan pada STSS dengan SAg (Shumba dkk., 2019)
Pada umumnya, APC menghasilkan dan mempresentasikan antigen peptida terproses pada MHC II ke sel T melalui reseptor sehingga terjadi aktivasi sel T terkontrol pada sistem imun. Namun, SpeB, yaitu salah satu jenis SAg, berikatan dengan rantai variabel beta (Vβ) pada reseptor sel T dan MHC kelas II sehingga aktivasi sel T menjadi tidak terkontrol. Sel T yang teraktivasi tidak terkontrol menyebabkan ‘kejutan’ pada tubuh manusia dengan mulai menyerang berbagai bagian termasuk kulit yang menyebabkan peradangan, yang dikenal dengan Toxic Shock Syndrome (TSS).
2. SLS dan SLO
Gambar 4. Mekanisme faktor virulensi streptolisin pada jaringan kulit (Shumba dkk., 2019)
S. pyogenes juga menghasilkan faktor virulensi berupa Streptolisin (SL) berupa SLS dan SLO. S. pyogenes akan melakukan translokasi melalui epitel, lalu memproduksi SLS yang merangsang neuron untuk melepaskan protein terkait gen kalsitonin (CGRP). Protein ini menghambat perekrutan atau ‘kolonisasi’ neutrofil sehingga menekan sistem imun pasif untuk bekerja. SLO sendiri dapat mendisrupsi membran sel neutrofil, sel epitel kulit, dan organ lain dengan mudah sehingga terjadi kematian sel (apoptosis) seolah-olah ‘termakan’ (flesh-eating). Kondisi tersebut dikenal dengan Necrotizing Fasciitis tipe II.
Fun Fact tentang Necrotizing Fasciitis
- Tipe I: Infeksi ini terjadi oleh polimikrobial, yaitu gabungan antara mikroba anaerobik dan aerobik
- Tipe II: S. pyogenes sebagai patogen predominan
Status Invasif Streptococcus pyogenes
Menurut Williams dkk. (2024) dalam Science Alert, berbagai negara seperti Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa telah mencatat peningkatan kasus penyakit Streptococcus grup A invasif yang parah sejak tahun 2022. Tahukah kalian, bahwa mulanya Streptococcus pyogenes merupakan organisme yang tidak berbahaya? Namun, hal berubah ketika terjadi 4 mutasi dalam 35 tahun yang membuatnya menjadi patogen infeksius yang mengerikan.
Para peneliti menelusuri fungsi dari 4 mutasi kritis yang baik membantu bakteri menjadi jauh lebih menular atau menciptakan versi protein toksik yang lebih kuat. Dua mutasi pertama (sebelum tahun 1960) muncul setelah satu garis keturunan sel progenitor terinfeksi dengan dua jenis virus berbeda yang membawa gen pengkode toksin baru. Mutasi ketiga melibatkan perubahan pada satu nukleotida yang memungkinkan bakteri memproduksi toksin yang lebih baik daripada sebelumnya. Akhirnya, mutasi terakhir adalah transfer gen dengan bakteri lain yang terjadi sekitar tahun 1983. Hal ini memberi bakteri kemampuan untuk mengkode 2 toksin mematikan sel dalam jumlah yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Bakteri pemakan daging sebenarnya menghasilkan lebih dari 90 jenis toksin yang berbeda, tetapi kombinasi 4 mutasi inilah yang membuat mereka sangat merusak dan menyebabkan mortalitas di atas 30% (Naseer dkk., 2014).
Kenapa Wabah Flesh-Eating Disease Terjadi Sekarang?
Penyebaran “flesh-eating” disease dalam tahun 2024 meningkat melebihi rekor jumlah kasus di Jepang di tahun 2023. Ini pun baru menghitung kasus hingga pertengahan tahun! Kira-kira kenapa ya?
Terdapat 2 kemungkinan mengapa fenomena ini terjadi.
- Kemunculan strain bakteri yang lebih virulen
Selama pandemi COVID-19, sejumlah strain dari bakteri S. pyogenes yang disebut emm memiliki tren yang unik. Terdapat beberapa strain yang secara konsisten menyebabkan infeksi STSS, tetapi terdapat juga strain seperti emm1 yang menurun akibat penyebaran yang kurang efektif. Terdapat kemungkinan adanya mutasi acak sehingga strain dapat beradaptasi dalam virulensi dan transmisi yang lebih poten. Mutasi yang diketahui dapat menyebabkan peningkatan virulensi pada Streptococcus pyogenes adalah promotor sic, gen rgg, rocA, csrS/csrR, dan srrG (Ikebe dll., 2016; Ikebe dkk., 2022).
- Paparan patogen setelah pandemi COVID-19
Adanya paparan minimal dari perilaku “social-distancing” dan budaya steril seperti penggunaan hand sanitizer dan masker menyebabkan anak-anak hingga orang dewasa terpapar oleh lebih sedikit mikroba dari lingkungannya. Meskipun perilaku ini membantu meminimalisir invasi berbagai patogen termasuk SARS-CoV2, hal ini menyebabkan tubuh manusia tidak terlatih untuk membentuk kekebalan dalam melawan patogen-patogen lainnya yang dapat mengalami kontak dengan tubuh dalam jumlah rendah. Datangnya masa “new normal” memulai era paparan mikroba yang tinggi kembali di saat tidak terbentuknya kekebalan parsial terhadap berbagai patogen termasuk STSS (Ikebe dkk., 2024).
Pengobatan Flesh Eating Disease, Adakah?
Saat ini, pengobatan dari “flesh-eating” disease atau STSS memiliki beberapa alternatif sebagai berikut.
- Terapi antibiotik seperti linezolid, clindamycin, dan penicillin G. Namun, penggunaannya harus diperhatikan karena sudah terbentuk sejumlah resistensi antimikroba pada S. pyogenes seperti terhadap klindamisin dan makrolida sekitar 2-98% (2020).
- Terapi imunoglobulin (IVIg) berupa antibodi poliklonal IgG yang diberikan secara intravena selama 3 hari. Terapi ini membantu untuk memodulasi sel T yang tidak terkontrol melalui aktivasi sel natural killer (NK) yang dapat bersamaan meningkatkan aktivasi sel T regulator yang dapat memodulasi aktivitas sel T dan melakukan supresi respons inflamasi sel T (Kaufman dkk., 2015).
- Terapi kortikosteroid seperti hidrokortison dengan pemberian sekitar 50 mg/60 jam
- Debridemen bedah pada lesi kulit dalam beberapa kali secara bertahap
Gambar 5. Lesi kulit pada bagian kaki akibat STSS (Silva dkk., 2022)
Nah, sekarang sudah jelas kan kalau Flesh-Eating Bacteria sebetulnya tidak “memakan daging” penderitanya. Jaringan kulit yang rusak sejatinya diakibatkan oleh respon imun yang tidak terkontrol akibat induksi oleh toksin dan bahkan juga toksin lainnya dari S. pyogenes. Tapi penyebarannya terhadap sesama manusia cukup tinggi. Diperlukan tindakan untuk membendung penyebaran penyakit ini selain dari peringatan terkait penjagaan higienitas dasar. Selain tindakan preventif, diperlukan metode diagnosis yang akurat dan cepat untuk mendeteksi penyakit dan carriernya secara cepat mengingat fatalitas penyakit ini dalam jangka waktu pendek. Vaksin untuk patogen S. pyogenes sekarang sendiri dikembangkan melalui antigen GAC, protein M, atau antigen lainnya yang bersifat konservatif (Walkinshow dkk., 2023). Perkara vaksin ini masih berlangsung dalam uji klinis sehingga semoga terdapat vaksin secepatnya dapat diproduksi untuk mencegah atau menekan kasus STSS ini.
Jadi, masih percayakah kalian jika fenomena ini bisa menimbulkan wabah baru di dunia saat ini?
Referensi
Barnham, M., Kerby, J., & Skillin, J. (1980). An outbreak of streptococcal infection in a chicken factory. Epidemiology & Infection, 84(1), 71-75.
File, T. M., Tan, S. J., & Dipersio, J. M. (1998). Diagnosing and treating the “flesh-eating bacteria syndrome”. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 65(5)
Ikebe, T., Matsumura, T., Nihonmatsu, H., Ohya, H., Okuno, R., Mitsui, C., … & Ohnishi, M. (2016). Spontaneous mutations in Streptococcus pyogenes isolates from streptococcal toxic shock syndrome patients play roles in virulence. Scientific Reports, 6(1), 28761.
Ikebe, T., Otsuka, H., Chiba, K., Kazawa, Y., Yamaguchi, T., Okuno, R., … & Akeda, Y. (2022). Natural mutation in the regulatory gene (srrG) influences virulence-associated genes and enhances invasiveness in Streptococcus dysgalactiae subsp. equisimilis strains isolated from cases of streptococcal toxic shock syndrome. EBioMedicine, 81.
Ikebe, T., Okuno, R., Uchitani, Y., Yamaguchi, T., Isobe, J., Maenishi, E., … & Working Group for Beta-Hemolytic Streptococci in Japan. (2024). Epidemiological shifts in and impact of COVID-19 on streptococcal toxic shock syndrome in Japan: A genotypic analysis of group A Streptococcus isolates. International Journal of Infectious Diseases, 142, 106954.
Kanwal, S., & Vaitla, P. (2023, July 31). Streptoccus Pyogenes. PubMed; StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554528/
Kaufman, G. N., Massoud, A. H., Dembele, M., Yona, M., Piccirillo, C. A., & Mazer, B. D. (2015). Induction of regulatory T cells by intravenous immunoglobulin: a bridge between adaptive and innate immunity. Frontiers in immunology, 6, 469.
Naseer, W., Beres, S. B., Olsen, R. J., Musser, J. M., et al. (2014). Evolutionary pathway to increased virulence and epidemic group A Streptococcus disease derived from 3,615 genome sequences. Proceedings of the National Academy of Sciences 111(17).. https://doi.org/10.1073/pnas.1403138111
Shumba, P., Shambat, S. M., & Siemens, N. (2019). The role of streptococcal and staphylococcal exotoxins and proteases in human necrotizing soft tissue infections. Toxins, 11(6), 332. https://doi.org/10.3390/toxins11060332
Silva, J. M., Gomes Cochicho, J., Carvalho, E., Parente, A. R., Cruz Nodarse, A., & Pádua, F. (2022). Streptococcal Toxic Shock Syndrome: A Case Report. Cureus, 14(12), e32539. https://doi.org/10.7759/cureus.32539
Walkinshaw, D. R., Wright, M. E., Mullin, A. E., Excler, J. L., Kim, J. H., & Steer, A. C. (2023). The Streptococcus pyogenes vaccine landscape. npj Vaccines, 8(1), 16.Williams, P., et al. (2024). Deadly ‘Flesh-Eating Bacteria’ Is Surging in Japan. Here’s What You Should Know. Science Alert. https://www.sciencealert.com/deadly-flesh-eating-bacteria-is-surging-in-japan-heres-what-you-should-know