Kembalinya Dire Wolves: Fantasi Jurassic Park atau Terobosan Bioteknologi?
Penulis: Dina Avanza Mardiana (Archaea’22)
“Extinction is forever” adalah prinsip konservasi yang kita kenal selama ini. Tapi bagaimana jika sains bisa membalik waktu?
Krisis Keanekaragaman Hayati: Titik Balik Kehidupan
Saat ini, dunia sedang menghadapi dua krisis besar secara bersamaan: krisis iklim dan krisis biodiversitas. Menurut Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), laju kepunahan spesies telah meningkat 100 hingga 100.000 kali lipat dibandingkan laju alami (Ceballos et al., 2015). Diperkirakan pada tahun 2050, hampir separuh spesies di Bumi akan terancam punah. Yang paling terdampak adalah keystone species, yaitu spesies dengan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Kabar Mengejutkan: Dire Wolves “Hidup Kembali”?
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh pengumuman dari sebuah perusahaan bioteknologi yang mengklaim telah menghidupkan kembali dire wolves, spesies megafauna yang punah sekitar 9.500 tahun lalu. Setelah 6 bulan, nyatanya dire wolves tersebut hidup sehat dan berhasil tumbuh dengan baik. Meski dikenal dari serial Game of Thrones, dire wolves atau Aenocyon dirus memang benar pernah hidup di Amerika Utara. Mereka lebih besar dan kuat dari serigala abu-abu (Canis lupus), meski bukan leluhur langsungnya.
Lalu, bagaimana makhluk yang sudah punah bisa “dihidupkan” kembali bahkan bisa bertahan hidup dan tumbuh dengan baik? Jawabannya adalah melalui rekayasa genetika dalam proyek de-extinction.
De-extinction: Jurassic Park yang Nyata
Proses de-extinction dire wolves dimulai dari ekstraksi DNA pada fosil seperti gigi dan tengkorak. Para ilmuwan kemudian melakukan whole genome sequencing (WGS) untuk menyusun urutan genom lengkapnya. Hasilnya dibandingkan dengan genom kerabat terdekat, yaitu serigala abu-abu, menggunakan teknik bioinformatika seperti gene alignment, phylogenetic inference, dan algoritma deep learning (Perri et al., 2021).
Salah satu gen penting yang ditemukan berbeda adalah LCORL (Ligand-Dependent Nuclear Receptor Corepressor-Like), yang diketahui memengaruhi ukuran tubuh dan metabolisme. Dengan teknologi multiplex gene editing seperti CRISPR-Cas9, para ilmuwan menyunting lebih dari 20 bagian genom serigala modern agar menyerupai genom dire wolves.
Setelah itu, DNA dalam oosit serigala digantikan dengan DNA hasil rekayasa. Embrio yang dihasilkan kemudian diimplantasikan ke induk pengganti (surrogate mother) serigala.
Hasilnya? Seekor anak dire wolf hasil rekayasa lahir sehat dan kini telah berumur enam bulan. Kelangsungan hidup dan pertumbuhannya yang stabil menunjukkan keberhasilan desain genetik dan lingkungan pasca-lahir yang sangat terkontrol. Faktor kuncinya mencakup pemilihan induk surrogate yang optimal, pemantauan imunologi neonatal, serta rekonstruksi mikrobioma usus yang mendekati komposisi mikrobiota purba. Dukungan nutrisi dan monitoring metabolik berbasis profil genetik turut berperan dalam adaptasi awal yang sukses.
Mikrobiologi dalam De-extinction
Mungkin kamu bertanya: “Apa hubungannya semua ini dengan mikrobiologi?” Ternyata, sangat banyak.
Kontaminasi DNA Kuno
Tantangan besar dari proyek ini adalah menjaga kualitas DNA purba. DNA dari fosil rentan terhadap degradasi dan kontaminasi mikroba seperti bakteri dan jamur. Mikrobiologi lingkungan membantu mengembangkan protokol ekstraksi DNA steril, agar kontaminan tidak ikut diamplifikasi saat PCR dan WGS (Willerslev & Cooper, 2005).
Asal-usul dan Evolusi Teknologi CRISPR
CRISPR-Cas9, teknologi yang kini jadi ujung tombak rekayasa genetika, pada awalnya ditemukan sebagai sistem imun adaptif milik bakteri dan archaea. Sistem ini memungkinkan mikroorganisme mengenali dan menghancurkan DNA virus yang menyerang mereka. Ketika bakteri terinfeksi, potongan kecil DNA virus disisipkan ke dalam lokus CRISPR, menjadi “memori imunologis” mikroba. Jika virus yang sama datang lagi, bakteri akan menggunakan guide RNA dari rekaman itu untuk mengarahkan protein Cas memotong DNA asing tersebut (Barrangou et al., 2007).
Penemuan inilah yang kemudian diadaptasi oleh ilmuwan seperti Jennifer Doudna dan Emmanuelle Charpentier menjadi sistem penyuntingan genom presisi tinggi. Dengan memprogram guide RNA, CRISPR-Cas9 bisa diarahkan ke posisi spesifik dalam genom untuk memotong dan memperbaiki DNA, mengganti gen, atau bahkan menyisipkan sekuens baru (Jinek et al., 2012).
Dalam konteks de-extinction, CRISPR memungkinkan para ilmuwan menyunting banyak gen sekaligus pada sel serigala modern untuk menghasilkan profil genetik yang sesuai dengan dire wolves. Teknik ini disebut multiplex editing, dan tanpa CRISPR, pendekatan ini akan sangat tidak efisien atau bahkan mustahil secara teknis.
Menariknya, versi CRISPR kini berkembang makin canggih, seperti base editing dan prime editing. Ini memungkinkan modifikasi satu basa DNA tanpa memotong untai ganda, menurunkan risiko efek samping (off-target) dan meningkatkan akurasi.
Bukan nggak mungkin, teknologi CRISPR di masa depan akan memungkinkan de-extinction spesies yang lebih jauh dari kerabat hidupnya, seperti mammoth atau bahkan spesies yang belum pernah dipelajari secara mendalam.
Mikrobioma dan Kelangsungan Hidup
Hewan hasil rekayasa tidak hanya memerlukan genom yang tepat, tapi juga mikrobioma yang kompatibel. Mikrobioma usus memengaruhi pencernaan, kekebalan, metabolisme, bahkan perilaku. Tanpa mikrobioma yang sesuai, individu bisa rentan terhadap infeksi atau gagal adaptasi. Beberapa tim peneliti bahkan mencoba merekonstruksi mikrobioma purba lewat analisis metagenomik sisa fosil (Mendoza et al., 2020), lalu menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan saat ini.
Etika dan Biosafety
De-extinction juga memunculkan banyak pertanyaan kritis.
- “Apakah hewan ini bisa membawa patogen baru yang sudah lama “tertidur”?“
- “Bagaimana interaksi mereka dengan mikroba lingkungan modern?“
- “Apakah mereka bisa menjadi vektor penyakit baru bagi manusia atau hewan lain?“
Pendekatan One Health, yang mengintegrasikan ilmu mikrobiologi, ekologi, dan kesehatan global, menjadi sangat penting untuk menganalisis risiko dari eksperimen lintas zaman ini.
Penutup: Harapan atau Ancaman?
Kebangkitan dire wolves mungkin terasa seperti mimpi sains yang jadi nyata. Namun de-extinction bukanlah solusi tunggal bagi krisis keanekaragaman hayati. Tanpa konservasi habitat dan perubahan gaya hidup manusia, semua ini bisa menjadi sekadar nostalgia genetik yang mahal dan penuh risiko.
Satu hal yang pasti:
“Mikrobiologi tidak hanya bagian dari masa lalu, tapi juga kunci masa depan. Dari sistem imun bakteri ke teknologi revolusioner, dari kontaminan fosil hingga mikrobioma modern, ilmu mikrobiologi menjadi benang merah dalam cerita ambisius menghidupkan kembali kehidupan yang telah lama hilang.”
Referensi
Barrangou, R., Fremaux, C., Deveau, H., Richards, M., Boyaval, P., Moineau, S., … & Horvath, P. (2007). CRISPR provides acquired resistance against viruses in prokaryotes. Science, 315(5819), 1709–1712. https://doi.org/10.1126/science.1138140
Ceballos, G., Ehrlich, P. R., Barnosky, A. D., García, A., Pringle, R. M., & Palmer, T. M. (2015). Accelerated modern human–induced species losses: Entering the sixth mass extinction. Science Advances, 1(5), e1400253. https://doi.org/10.1126/sciadv.1400253
Jinek, M., Chylinski, K., Fonfara, I., Hauer, M., Doudna, J. A., & Charpentier, E. (2012). A programmable dual-RNA–guided DNA endonuclease in adaptive bacterial immunity. Science, 337(6096), 816–821. https://doi.org/10.1126/science.1225829
Mendoza, M. L. Z., Xue, Y., Ureña, F. M., Smith, S. D., Dalen, L., & Gilbert, M. T. P. (2020). Microbiome recovery from ancient hosts. Annual Review of Animal Biosciences, 8, 169–187. https://doi.org/10.1146/annurev-animal-021419-083853
Perri, A. R., Mitchell, K. J., Mouton, A., Álvarez-Carretero, S., Hulme-Beaman, A., Haile, J., … & Frantz, L. A. (2021). Dire wolves were the last of an ancient New World canid lineage. Nature, 591(7849), 87–91. https://doi.org/10.1038/s41586-020-03082-xWillerslev, E., & Cooper, A. (2005). Ancient DNA. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 272(1558), 3–16. https://doi.org/10.1098/rspb.2004.2813