Bacteriophage: Harapan Baru di Tengah Krisis Resistensi Antibiotik

Direkomendasikan oleh: Faiqah Suci Vaneira (Archaea’23)

Resistensi antibiotik semakin mengkhawatirkan, terutama dengan munculnya strain Staphylococcus aureus (S. aureus) yang resisten, seperti MRSA. Bakteri yang umumnya ditemukan di kulit atau hidung ternyata bisa menyebabkan penyakit serius. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak terarah meningkatkan resistensi dari bakteri tersebut dan menciptakan suatu evolusi bakteri yang dapat disebut sebagai superbug. Hal ini menjadi suatu ancaman dan tantangan baru dunia medis dalam terapi penyakit.

Antibiotik Gagal? Inilah Kenyataan Resistensi S. Aureus

Bakteri yang banyak ditemukan di area kulit atau hidung dan dulunya dapat dengan mudah dibasmi oleh antibiotik kini menjadi musuh tangguh yang sulit ditaklukkan. Seberapa jauh sebenarnya resistensi ini berkembang? Dan seberapa besar ancamannya bagi kita? Sini aku kasih tau lengkapnya!

1. Kasus resistensi S. Aureus

  • MRSA (Methicillin-Resistant S. aureus) : Ini adalah bentuk paling terkenal dari resistensi S. aureus, yang kebal terhadap antibiotik golongan beta-laktam seperti methicillin, oxacillin, penicillin, dan amoxicillin. MRSA sering ditemukan di rumah sakit (HA-MRSA) dan juga di komunitas (CA-MRSA).
  • VRSA (Vancomycin-Resistant S. aureus) : Ini adalah strain yang sangat berbahaya karena resisten terhadap vancomycin, antibiotik yang sering dianggap sebagai pilihan terakhir untuk infeksi serius S. aureus. Meski jarang, VRSA merupakan ancaman serius.
  • MDR (Multidrug Resistant) : Beberapa strain S. aureus telah berkembang menjadi MDR, resisten terhadap banyak jenis antibiotik selain methicillin, termasuk klindamisin, eritromisin, dan tetracycline. Namun, resistensi S. aureus belum sampai ke tahap XDR (Extensively Drug Resistant) seperti bakteri lain, tetapi mendekati tahap tersebut karena kemampuan adaptasinya yang cepat.

2. Antibiotik yang umum digunakan untuk S. Aureus dan kasus resistensi

  • Penicillin: Sejak tahun 1940-an, S. aureus mulai menunjukkan resistensi terhadap penicillin, karena produksi enzim beta-laktamase yang memecah struktur penicillin.
  • Methicillin/Oxacillin: Ketika penicillin menjadi tidak efektif, methicillin dan oxacillin diperkenalkan. Namun, strain MRSA sekarang kebal terhadap antibiotik ini.
  • Vancomycin: Antibiotik lini terakhir untuk MRSA, tetapi kini ada laporan tentang strain VRSA yang resisten terhadap vancomycin.
  • Clindamycin: Digunakan untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, tapi resistensi terhadap clindamycin juga mulai meningkat.
  • Linezolid: Digunakan untuk MRSA, namun kasus resistensi mulai muncul di beberapa area.
  • Daptomycin: Alternatif lain untuk mengatasi infeksi serius, tetapi strain S. aureus yang resisten terhadap daptomycin juga mulai berkembang.

3. Tingkat Resistensi

  • MRSA: Telah menjadi MDR (Multidrug Resistant), tetapi belum mencapai XDR (Extensively Drug-Resistant) secara umum. Resistensi terhadap beberapa jenis antibiotik masih terbatas pada strain tertentu dan area geografis tertentu.
  • VRSA: Masih jarang, tetapi mengkhawatirkan karena bisa menjadi resisten terhadap satu-satunya antibiotik andalan untuk S. aureus.

Kembalinya Sang ‘Pembunuh Bakteri’: Bakteriofaga

Maraknya resistensi antibiotik pada strain S. aureus yang berkembang menekankan urgensi dari suatu alternatif pengobatan. Terapi bakteriofaga yang disebut lytic phages, yang pernah diterapkan beberapa dekade lalu, kini mendapatkan perhatian kembali dan menjadi terobosan yang menjanjikan. Meskipun sempat terlupakan karena popularitas antibiotik, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan bacteriophage dan kenapa terapi ini bisa menjadi game-changer dalam dunia medis?

Nah, bacteriophage (faga) merupakan virus yang secara spesifik menyerang bakteri. Faga dapat menempel pada permukaan bakteri dan menyuntikkan DNA-nya. Faga menempel pada bakteri melalui interaksi spesifik antara protein di permukaan ekor faga dan reseptor pada dinding sel bakteri yang cocok dengan afinitas tinggi. Lokasi tempat penempelan ini tergantung pada tipe faga dan jenis bakteri yang diinfeksinya dan umumnya bersifat sangat spesifik. Untuk Staphylococcus aureus, reseptor yang sering menjadi target phage adalah asam teikoat  yang terletak di dinding sel bakteri. Kemudian, DNA faga mengendalikan mekanisme sel bakteri untuk mereplikasi virus baru. Akhirnya, sel bakteri mengalami lisis (pecah), melepaskan sejumlah faga baru yang dapat menginfeksi bakteri lain. 

Terapi ini efektif dalam mengobati infeksi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik, khususnya dengan menghancurkan biofilm bakteri dan strain persisten. Menargetkan bakteri secara spesifik dan menghancurkannya dengan waktu cepat membuat mekanismenya lebih unggul daripada antibiotik.

Gambar 2. siklus hidup Lytic phages dalam terapi bakteriofaga (Tankeshwar, 2024)

Eksperimen di Dunia Nyata: Hewan Model dan Manusia pada Uji Klinis

Sudah banyak percobaan yang dilakukan dengan faga ini terhadap hewan model dan pasien manusia. Contoh beberapa hewan model yang digunakan untuk mendukung penelitian S. Aureus Phage Therapy meliputi hewan seperti tikus (Mus musculus), tikus coklat (Rattus norvegicus), kelinci (Oryctolagus cuniculus), nematoda (Caenorhabditis elegans), dan larva ulat sutera (Bombyx mori). Hasil pada hewan model dari berbagai percobaan juga memanfaatkan berbagai jenis faga seperti GRCS, MR-10, phiAGO1.3, S25-3, dan S13. Namun, luar biasanya seluruh percobaan menunjukkan suatu kesimpulan yang mirip, yaitu peningkatan survivabilitas, reduksi infeksi, penyembuhan luka, dengan efektivitas yang lebih baik dari antibiotik umum terhadap infeksi S. aureus tanpa menyebabkan efek samping.

Uji klinis terhadap manusia sendiri juga menunjukkan hasil yang memuaskan dalam penggunaan terapi faga untuk mengatasi berbagai komplikasi kesehatan yang disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus. Berbagai laporan kasus menggambarkan bagaimana terapi faga berhasil memberikan hasil positif dalam mengatasi infeksi yang sulit diobati dengan antibiotik. Setiap laporan mencatat penyembuhan yang signifikan pada pasien dengan kondisi serius, seperti infeksi kulit dan jaringan lunak, osteomielitis, hingga infeksi yang terkait dengan prosedur bedah atau implan. Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan beban bakteri, penyembuhan luka yang lebih cepat, serta peningkatan kondisi klinis pasien, yang menjadikan terapi faga sebagai alternatif yang menjanjikan di tengah meningkatnya resistensi antibiotik. Kalian bisa baca lebih lanjut rangkuman laporan-laporan tersebut dari literature review yang dilakukan oleh Plumet et al. (2022)!

Kedepannya Gimana? Apa Cuma Sampai Disini Aja?

Tentu tidak, masih ada tantangan lain, yaitu kemungkinan muncul bakteri yang resisten terhadap faga, penyebaran gen resistensi antibiotik setelah lisis, dan dosis yang diperlukan untuk terapi yang efektif (Barron, 2022).

Gambar 3. Tantangan aplikasi terapi bakteriofaga pada dinamika tubuh manusia (Baron, 2022)

Beberapa solusi yang diajukan termasuk penggunaan cocktail phage (menggunakan campuran beberapa jenis phage dalam satu pengobatan), pemberian dosis awal yang tinggi atau penerapan kombinasi phage dan antibiotik bisa menjadi solusi atas masalah ini kedepannya.

Maka, kesimpulannya!

Terapi bakteriofaga muncul sebagai alternatif yang menjanjikan dalam menghadapi krisis resistensi antibiotik, terutama terhadap infeksi Staphylococcus aureus yang resisten seperti MRSA dan VRSA. Dengan kemampuan untuk secara spesifik menyerang dan menghancurkan bakteri tanpa mempengaruhi mikrobiota normal tubuh, bakteriofaga menawarkan mekanisme kerja yang lebih efisien dibandingkan antibiotik tradisional. Hasil penelitian dan laporan kasus menunjukkan bahwa terapi faga dapat memberikan perbaikan signifikan dalam kondisi pasien yang mengalami infeksi serius, meskipun tantangan seperti potensi resistensi terhadap faga tetap perlu diatasi. 


Great power comes with evolving research. Walaupun bisa menjadi alternatif pengobatan, bukan berarti tidak memiliki resiko sama sekali. Masih perlu pengembangan dan penelitian lebih untuk menutupi kekurangan dari teknik pengobatan ini dan menjadikannya bagian penting dalam pengobatan infeksi di masa depan. Stay tuned untuk artikel selanjutnya!

Daftar Pustaka

Barron, M. (2022). Phage therapy: Past, present and future, ASM. Diakses pada 17 Oktober 2024 di  https://asm.org/articles/2022/august/phage-therapy-past,-present-and-future.

Plumet, L., Ahmad-Mansour, N., Dunyach-Remy, C., Kissa, K., Sotto, A., Lavigne, J. P., … & Molle, V. (2022). Bacteriophage therapy for Staphylococcus aureus infections: a review of animal models, treatments, and clinical trials. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 12, 907314.

Tankeshwar, A. (2024) Teichoic acid: Structure, types, and functions • microbe online. Microbe Online. Diakses pada 18 Oktober 2024 di https://microbeonline.com/teichoic-acid-of-gram-positive-bacteria-characteristics-and-medical-importance/ 

Baca juga artikel lainnya: